“Dua
kali wanita itu memarahiku,
mencaci dan menghardikku. Kenapa dia menghakimiku? Apa salahku? Siapa dia
sebenarnya, hingga bisa seenaknya saja merendahkanku?” Pertanyaan-pertanyaan
itu terus berkecamuk mencari jawaban. Jawaban yang belum pernah kutemukan. Aku
mencoba untuk tenang melawan tikaman pertanyaan batin yang terus mengusikku. Di
kamar kos yang sempit ini, kutatap lekat ranjang dan kelambu kusam itu.
Buku-buku, meja, dan lemari jelek—yang setiap waktu setia menemaniku. Dalam
hati kubertanya, apakah tak ada yang lain, tempat dan teman yang lebih baik
dari mereka? Ah, pertanyaan konyol itu kembali muncul dalam ruang sunyi ini.
Kring…kring…!!! Dering
telepon butut itu kembali mengangetkanku. Seperti biasa, hanya telepon ibu yang
mampu melerai gemuruh rasa di hatiku. Suara ibu laiknya madu dalam ramuan jamu.
Meski pahit, setidaknya masih ada sedikit raga legit. Yah, hidupku
memang pahit, sejak aku lahir tak pernah melihat sosok ayah. Tetapi, mungkin
itu yang terbaik untukku, daripada harus melihat sosok ayah yang tega memukul
ibu dan suka bermain dengan wanita lain—seperti yang selama ini dipergunjingkan
oleh para tetangga.
Ayah
tega meninggalkan ibu, dan membiarkannya membanting tulang untuk membesarkanku.
Bahkan sekalipun ayah tak pernah menjengukku, anak kandungnya. Ayah
membiarkanku hidup dalam penderitaan dan gunjingan orang sejak aku masih dalam
kandungan. Sungguh mengenaskan.
Telah
aku kubur dalam-dalam kenangan tentang ayah, bahkan berkhayal seperti apa wajah
ayah, aku pun tak mau. Ibu juga tidak pernah menyinggung perihal ayah. Hanya
sekali ibu pernah bilang, bahwa suaminya adalah cinta sejatinya. Meski sekarang
suaminya telah pergi, namun ibu tetap mencintainya. Sungguh, aku tak mengerti apa
maksudnya? Bukankah suaminya yang telah menelantarkannya ketika ia sedang
hamil? Ah…ibu, walau engkau adalah ibuku, tetapi aku tak mengerti jalan
pikiranmu.
“Rena,
kamu sudah tidur, Nak?” tanya ibu kepadaku.
“Belum,
Bu. Rena nggak bisa tidur sebelum mendengar suara Ibu,” jawabku manja.
“Gimana
kabarmu hari ini, Sayang?”
“Baik,
Bu. Seperti biasa, Rena baik-baik saja.”
Ah,
andai kau tahu Bu, sejak kemaren ada teman sekampus yang mencaci makiku. Tapi
aku nggak ingin membuatmu sedih, biarlah kurasakan sendiri sakit ini. Engkau
sudah banyak merasakan pahitnya hidup, aku tak ingin menambahkan beban lagi
kepadamu. Aku sudah dewasa, aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
Mendung masih menggantung, saat aku keluar dari
rumah kos pagi ini. untuk kesekian kalinya aku tak sengaja bertemu dengannya,
dan kami jalan bersama menuju kampus. Tiba-tiba mendung di langit bergemuruh
dan jatuh menjadi rintik-rintik hujan. Dengan cepat dia meraih payung lipat
dari dalam tas punggungnya dan membiarkanku berteduh di bawahnya. Namun, hujan
kian deras, akhirnya kami berteduh di warung kopi tepi jalan.
Deg…deg…jantungku
tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku berdiri sangat dekat dengannya, hingga
aku bisa merasakan getar hangat tubuhnya.
Ini
adalah pertama kalinya aku berdiri begitu dekatnya dengannya. Sebelumnya kami
hanya jalan beriringan dan bertegur sapa seperlunya. Walau sudah lama aku
memperhatikannya, tapi aku tak berani untuk bertanya banyak hal dengannya. Dia
terlalu tampan dan keren untuk bergaul denganku. Di kampus banyak cewek
mengidolakannya. Mungkin karena dia juga, kemaren ada cewek yang marah-marah
tanpa alasan padaku. Cewek itu mengira aku menyukai dia—mahasiswa komunikasi
semester 8 itu. Yah, mungkin juga cewek itu ada benarnya. Aku
memang menyukainya, entah sejak kapan, aku sendiri tidak tahu. Rasa ini
datang begitu saja. Walau aku dan dia hanya bertemu beberapa kali, tapi aku merasakan
ada sesuatu. Mungkin aku jatuh cinta kepadanya.
Dia
memang keren, tajir, tapi bukan itu yang membuatku suka kepadanya. Dia sangat
baik, sopan, dan berteman kepada siapa saja tanpa memandang bulu. Dan lebih
dari itu, kata Mbak Sinta—teman kosku yang sekelas dengannya, dia itu sangat
pandai alias jenius. Sungguh sempurnalah sudah lelaki itu. Laiknya bintang
bercahaya yang indah memesona.
Aku sih
tahu diri, mana mungkin aku bisa bermimpi menjadi pendampingnya. Sekedar
berkenalan saja aku tak punya nyali. Paling juga cintaku bertepuk sebelah
tangan, seperti cewek-cewek lain yang mengidolakannya. Walaupun begitu, aku
tidak suka jika ada orang yang memakiku seperti Ludya kemaren. Dia juga
menyebut-nyebut nama ibu dan ayah. Menjelek-jelekan keluargaku, dan menghina
harga diriku.
“Re!
Kamu ngaca ya, kamu itu siapa? Kamu itu nggak pantas sama Reno. Jadi, jangan
deket-deket deh sama dia! Pura-pura berangkat bareng segala. Kamu itu jelek,
cewek nggak jelas siapa bapaknya. Awas ya kalau masih deket-deketin Reno lagi!”
Ancam Ludya penuh amarah.
“Rena!”
Suara Reno memanggil dan membuyarkan lamunanku.
“Oh
tidak…dia menyebut namaku. Dari mana dia tahu namaku?” bisikku.
“Kamu
melamun ya? Yuk jalan, udah nggak hujan tuh.”
Waktu seakan begitu cepat berlalu, aku merasa
gelisah, takut akan kehilangan sosoknya. Waktu yang aku takutkan adalah saat
tiba waktunya dia lulus menjadi sarjana, dan aku tidak akan pernah melihat dia
lagi di kampus ini. Tapi ternyata hari yang aku takutkan itu malah menjadi hari
bersejarah dalam hidupku. Nggak pernah aku menduga jika dia akan “menembakku”
hari itu. Aku seakan nggak percaya, bahwa dia “menembakku”. Selama dua tahun
aku kuliah di kampus ini, kenalan dengannya saja aku nggak berani. Kami nggak
pernah main bareng, nggak pernah kumpul. Kalau pun saling sapa, itu pun hanya
sekedarnya.
Hari
itu aku sedang asyik bercanda ria dengan teman-temanku di depan gedung teather
di kampus kami. Dia mengungkapkan cinta kepadaku—Reno sang idola kampus
mencintaiku. Dia bilang telah memendam rasa itu sejak pertama
berjumpa denganku. Ternyata kami berdua sama-sama ada rasa, tapi
kami sama-sama takut untuk mengungkapkannya.
Bagiku
ini adalah sebuah keajaiban. Dan, sejak peristiwa itu terjadi, kampus kami
gempar dengan gosip jadian kami. Ada yang pro dan kontra, seperti Ludya, dia
sangat iri dan tidak percaya bahwa aku sekarang pacarnya Reno. Apalagi besok
ibuku akan pulang dan Reno akan meminangku.
Hampir
enam tahun ibuku bekerja di Hong Kong. Kali ini dia sengaja mengambil cuti
untuk menerima pinangan Reno. Ibu sangat merestui hubungan kami. Walau ibu
hanya mengenal Reno lewat telepon, tapi ibu sangat menyukainya. Reno memang
lelaki yang sempurna. Aku sungguh bahagia bisa mencintai dan dicintainya.
Malam yang kusangka akan menjadi malam terindah
karena cinta Reno dan Restu Ibu, ternyata menjadi malam yang paling
mencengangkan. Aku sendiri nggak tahu harus sedih atau bahagia. Aku sangat
bingung. Kejadian malam itu bagai sepenggal memoar yang selama ini hilang dalam
kehidupanku. Kepingan-kepingan rindu ini telah menyatu dan mempertemukan aku
kepada “darah” yang selama ini belum pernah aku lihat seumur hidupku.
Mungkin
ini yang namanya takdir, walau telah aku kubur dalam-dalam rinduku kepada
“darah”—ayah yang telah menelantarkanku, tapi Tuhan menakdirkan dia muncul
kembali di kehidupanku. Pak Rohim bapaknya Reno, adalah ayahku. Dia suami ibu
yang telah meninggalkanku sejak aku masih dalam kandungan.
Malam
itu suasana begitu pilu. Tak hanya aku, tapi Reno, Ibu, Pak Rohim juga Bu Wina
sangat shock dengan keadaan ini. Air mataku bercucuran tiada
henti, membasah semua luka yang dulu pernah mengering. Dalam pelukan ibu aku
tersedu, menumpahkan segala rasa yang ada di hatiku. Aku tak perduli dengan
orang-orang yang memandangiku. Aku hanya ingin menangis. Menangis sepuasnya. Di
ujung ruang tamu kulihat Reno berubah pucat, diam tertunduk layu. Ada setitik
embun di ujung matanya. Ada gurat kecewa di rona wajahnya.
Ternyata
aku dan Reno adalah saudara kandung. Sebelum ayah menikah dengan ibu, ayah
sudah lebih dulu menikah dengan Bu Wina, ibunya Reno. Dua puluh tahun yang
lalu, ketika ayah meninggalkan ibu dan pergi bersama wanita simpanannya yang
lebih kaya dan cantik dari pada ibu, ayah sering sakit-sakitan. Ayah menjadi
lelaki pesakitan yang tidak berguna dan akhirnya wanita simpanannya
meninggalkannya.
Pada
masa kelam itulah ayah bertemu Bu Wina, istri pertamannya. Bu Wina dengan
ikhlas menerima dan memaafkan kesalahan ayah. Berkat pertolongan dan ketulusan
hati Bu Wina, ayah sembuh dari penyakitnya juga penyakit buruknya. Ayah meminta
maaf kepada Bu Wina dan berjanji akan merubah sikap buruknya. Kemudian ayah dan
Bu Wina membangun kembali rumah tangganya yang pernah hancur. Membina keluarga
dengan harmonis bersama buah hati tercintanya, Reno.
Tapi
tiba-tiba aku datang di tengah-tengah kebahagiaan keluarga baru mereka. Aku dan
ibu yang telah lama terlupakan oleh ayah muncul kembali dalam keadaan yang
tidak terduga. Malam itu, sebuah misteri telah terungkap, sebuah hubungan yang
telah lama terputus terhubung kembali. Walau pertamanya kami semua tak bisa
menerima kenyataan ini, terutama aku, tapi akhirnya kurelakan juga.
Kurelakan
Reno, karena memang cinta kita adalah cinta terlarang. Kami telah salah
mengartikan rasa ini, rasa sayang seorang
saudara yang kami salah artikan sebagai cinta. Mungkin itulah alasannya kenapa
aku dan Reno merasakan sesuatu sejak pertama kita bertemu, dan sesuatu
itu adalah tali persaudaraan.
Satu
lagi yang kutemukan malam itu, yaitu penawar rindu. Walau tak pernah kuucap,
tak pernah kubayang, tapi sejatinya aku rindu kepada Ayah.
“Rena,
maafin ayah Nak!” Pinta lelaki itu bersimpuh di depanku. Aku masih terdiam
penatapnya nanar. Ada api, juga salju, yang membakar dan membekukan hatiku. Tapi
perlahan, kulihat anggukan Ibu, Reno, juga Bu Wati meyakinkanku.
“Ayaaah!”
Kupeluk erat tubuhnya dan kucium takzim tangannya. Lalu Reno mendekat dan
mendekapku.
“Kak
Reno….” Kami berpelukan, dan ayah mendekap kami dari belakang. Rasa haru dan
bahagia mengalir dalam darahku, ada senyum di ujung rindu di hatiku.
( NH.
Lulu, dimuat di Tabloid APAKABAR Plus Edisi#17ThnVIII*9-22 November 2013
)
Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!
1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link