By Unknown
on
Monday, January 20, 2014
with
3 comments
Lelaki tua itu masih
setia dengan gerobaknya. Di usia yang nyaris memasuki kepala delapan, ia masih
sanggup mendorong gerobaknya, dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk
mengais sampah yang kelak bisa ditukar dengan menu makan malamnya. Tiga zaman
telah dilewatinya, dengan sampah yang telah menghidupi keluarganya.
Kadang, hatiku miris. Di
usianya yang senja, seharusnya ia tak perlu bersusah payah seperti itu.
Menikmati sisa hidupnya, bersama anak cucu. Nyatanya, hanya untuk makan saja,
ia mesti mendorong gerobaknya, keliling kampung memunguti sampah. Mungkin, ia
tak mau menyusahkan anak-anaknya. Yang ia tahu, hidupnya pun sudah susah,
dengan segala tuntutan yang semakin tinggi, di zaman yang serba tak menentu
ini. Terlebih, anak-anaknya berada jauh
di luar kota. Di sini, ia hanya hidup sendiri. Istrinya, sudah lama
meninggalkannya, menghadap Tuhan semesta alam.
Sore itu, aku melihat gerobaknya
parkir di depan warung kopi tempat aku biasa
meluangkan waktu, sehabis pulang kerja. Kulihat, ia duduk di pojok bangku kayu
yang tersedia di warung kopi itu. Wajahnya pucat, sesekali terdengar batuk
darinya, yang cukup menggangguku.
“Kenapa, Kong?” tanyaku.
“Tidak apa-apa,” jawabnya
seraya meminum kopi yang masih tersisa di gelas.
“Kong, sakit ya?” Ia
menggeleng. Batuk itu kembalii terdengar. Kali ini agak keras. Wajahnya
terlihat makin pucat. Ia beranjak, bergegas pergi.
Sudah dua hari aku tak
melihatnya. Biasanya, sebelum berangkat kerja, aku pasti melihatnya, melintas
di depan rumahku. Kadang, Ibu menitipkan sampah sisa semalam padanya dan
memberi sedikit imbalan. Banyak juga, warga sekitar yang memanfaatkan jasanya, karena
petugas sampah di lingkunganku terlambat atau tak mengambil sampah dengan
berbagai alasan yang membuat jengkel warga sekitar. Padahal, tagihan iuran
kebersihan dan keamanan tak pernah lupa dipungut dari setiap warga.
Dan hari ini, sepulang
kerja, aku ingin mampir ke rumahnya. Ibu juga menitipkan pesan agar ia
mengambil sampah yang sudah dua hari menumpuk. Rumahnya berada di ujung jalan, dan masih ada tanah lapang di depannya.
Kulihat ada beberapa anak kecil bermain di sana.
Gerobaknya terpajang di
depan rumah, yang berdinding kayu dan nampak keropos. Kuketuk pintu
rumahnya. Tak ada jawaban. Kuulangi, kali ini agak keras. Tetap sama, tak ada
jawaban. Kucoba mendorong pintunya, tak terkunci. Dari dalam, menguar bau yang
tak sedap, bau busuk. Lelaki tua itu terbujur kaku, beralaskan tikar. Ia telah pergi
dalam kesendiriannya tanpa seorang sanak-saudara di sisinya. (eN)
Related Posts
3 komentar
hadewh...miris bacanya gan....itu cerita apa kenyataan???
Nyata, sebuah kisah yang berangkat dari realitas hidup... thanks dah menyinggahi, salam :)
oh god ;(
Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!
1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link