Trauma

By Unknown on Thursday, February 13, 2014 with 2 comments

Trauma
Aku sangat mengutuk perceraian orang tuaku. Akh, rasanya aku tak akan pernah bisa menerima kenyataan itu. Bagiku, apa pun alasannya, perceraian itu tak dapat kubenarkan. Sebagai anak, aku sudah berupaya: segala cara, segala daya dan segala apa pun, untuk menghalangi niat mereka. Nihil. Keputusan itu sudah bulat: meski tak melalui mekanisme musyawarah mufakat. Aku dan kakakku, Rachel, tidak diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka bilang ini urusan orang tua, anak-anak belum mengerti masalah ini. Terlalu rumit, sulit dan kompleks. Ya, aku memang tak mengerti dan tak akan mau mengerti. Hanya saja, aku merasa terabaikan. Hak-hakku sebagai seorang anak terampas, teraniaya. Egois.

Perceraian itu pun berjalan mulus tanpa hambatan.


Setelah perceraian, semuanya berjalan hambar. Kehangatan, kasih sayang, sebentuk perhatian, rasa ingin bermanja, senda tawa di meja makan saat sarapan pagi, menguap. Semuanya terengut, tak menyisakan secuil pun untukku yang masih sangat membutuhkan hangatnya sebuah keluarga.

Aku, dengan sangat terpaksa, memutuskan memilih untuk ikut Mama: begitu pula kakakku, Rachel. Sebenarnya aku memilih untuk pergi, terbang tinggi mengepakkan sayap-sayapku mencari kebahagiaan, mencari duniaku yang terampas. Tapi kudapati sayapku tak cukup kuat untuk melakukan hal itu. Meski demikian, memilih untuk ikut Mama, sudah kupertimbangkan dengan sangat matang. Aku berharap, Mama dapat memberikan sebentuk perhatian dan kasih sayang yang dapat mengurangi rasa benciku pada perceraian itu. Aku sangat berharap, semacam obsesi di tengah rasa luka yang menghitam di jiwaku. Nyatanya tak.

Rasanya, Mama, seperti mahkluk asing bagiku. Aku seperti tak mengenalnya lagi. Ia tenggelam oleh dirinya sendiri dan mengabaikan adaku. Perceraian itu bagai palu godam yang telah meremukkan seluruh hidupnya. Aku tahu, Mama sangat terpukul oleh kejadian itu. Mama seolah hilang dari dunia ini. Ia mulai jarang di rumah, terlalu sibuk di luar. Entah kesibukkan seperti apa yang begitu menyitanya. Bila di rumah, sejenak, Mama hanya mengurung diri di kamar. Tak banyak bicara.


Praktis aku benar-benar merasa terabaikan dan semakin menumbuh-kembangkan kebencianku pada perceraiaan mereka. Sementara Papa, tak kukutahui lagi rimbanya. Dan aku juga memang sudah tidak peduli lagi padanya.

“Sudahlah, Tania. Kamu tidak bisa terus menerus menyalahkan Papa-Mama. Mungkin perceraian itu merupakan jalan terbaik bagi mereka.” Kak Rachel, mencoba menenangkanku yang marah, muak dan kecewa.

“Dengan mengorbankan kebahagiaan kita, Kak?” Aku mendesis.
“Ya, terkadang kita memang harus siap berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Apalagi mereka itu orang tua kita, Tan.”

Usiaku yang belia, menolak keras pendapatnya. Bagiku, aku tetap tak bisa menerima pendapat itu. Kebencian telah tumbuh, menghalangi pandanganku tentang apa pun. 

Pagi menguap, lenyap tanpa jejak.

Waktu menyeretku. Bulan depan usiaku genap tiga puluh tahun. Tak lagi muda tentunya. Terlebih aku hanya seorang perempuan. Ya, seorang perempuan dengan status belum menikah. Pengalaman pahit perceraian orang tuaku masih mengeram di hatiku, dan mengiringiku dalam kesendirian. Aku belum memutuskan untuk menikah. Berbeda dengan kakakku, Rachel. Lima tahun yang lalu ia memutuskan menikah dengan pria pilihan hatinya dan kini sudah dikaruniakan seorang putera dan puteri yang imut dan lucu.

Sekali atau dua kali sebulan, ia pasti berkunjung ke rumah. Selalu dan tak bosan-bosannya, ia membagi kebahagiaannya denganku. Ya, tampaknya kakakku sangat bahagia dengan pernikahannya. Bila pamit, dan pulang ke rumahnya di selatan Jakarta, ia selalu meninggalkan catatan kecil dalam setiap percakapannya denganku. 

Sudah punya pilihan?
Siapa lelaki beruntung itu?
Kapan menikah?

Aku selalu diam dan melempar senyum setiap kali ia bertanya tentang hal itu. Sekarang, bukan tak ada lelaki yang dekat denganku. Banyak. Mereka datang dan pergi, terlebih dengan sikapku yang dingin. Tapi ada satu lelaki yang begitu gigih dengan sikapku. Ia begitu bersabar menghadapi diriku. Sejujurnya, tak ada yang kurang dalam dirinya. Ia memberiku rasa yang ruah: perhatian, kasih sayang yang telah cukup lama hilang dalam hidupku. Ia begitu sempurna memberikan seluruh perhatiannya padaku. Akhirnya, aku luluh dengan sikapnya. Aku menjalin hubungan dengannya. Kak Rachel pun, pada akhirnya mengetahui hubunganku ini. Surprise.

Tapi, aku tak pernah sanggup melangkah bila pembicaraan sudah mengarah ke hubungan yang lebih serius: pernikahan. Aku takut melangkah ke arah sana.
“Sampai kapan , Tan?” selalu sama, aku cuma terdiam.
“Aku ingin kamu tahu, aku serius denganmu. Dan ini sudah satu tahun berjalan. Aku ingin melamarmu, maukah kamu menikah denganku?” lagi, lagi dan lagi. Aku cuma terdiam. Tak ada jawaban keluar dari mulutku.

Siang itu, tidak seperti biasanya, kakakku, datang berkunjung. Aku lihat mendung menggantung di wajahnya. Ia membawa serta dua buah hatinya. Suaminya, Mas Bram, tak serta. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi? Ini tak biasa. Hingga kemudian ia mulai bercerita tentang suaminya. Tentang perselingkuhannya.

“Kami sudah sepakat untuk bercerai,” ujarnya. Meski dengan ekspresi yang sedih, tapi tak kutemukan air mata di wajahnya. Kulihat ia mencoba tegar dengan kondisi keluarganya yang diambang kehancuran. Mama nampak terpukul sekali mendengar berita itu.

“Sudah dipikirkan matang-matang, Kak?” Aku juga sangat terpukul mendengar niat perceraiannya. Tak pernah terpikirkan, kebahagiaan yang selalu ia bagi untukku ternyata rapuh adanya. Sama rapuhnya dengan diriku sendiri. Akh, aku kian gamang dengan hasil peradaban manusia itu yang bernama pernikahan. Bagai mata rantai, kini semua berulang: Papa-Mama cerai, dan kini kakakku juga akan bercerai. Semacam takdir hitam yang membayangi garis keturunan keluargaku. Mengintai bak musuh yang siap meluluh-lantahkan setiap keturunan Papa-Mama.

“Aku tak punya pilihan, dan perceraian itu satu-satunya jalan terbaik. Untuk apa mempertahankan rumah tangga bila di dalamya sudah tidak ada lagi cinta. Mas Bram tidak kali ini saja melakukannya. Aku sudah muak dengan segala kebohongan dan perselingkuhannya.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Pikiranku menerawang, jauh, terbayang kata-kata Adit yang kemarin berniat ingin melamarku. Aku memikirkan kata-katanya yang hendak meminangku. Dan kini, mendapati kondisi kakakku.

“Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan Adit?”
Aku tersentak. Kejut memasung wajahku.
“Kenapa, Tan? Kamu kok nampak terkejut sekali.  Hubungan kamu baik-baik saja kan?” Bola mata Kak Rachel menyelidik.
“Ah, tidak apa-apa, Kak. Hubunganku dengan Adit baik-baik aja kok,” jawabku gugup.
“Yakin? Jangan bohong deh sama kakak. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” Kak Rachel berpindah tempat, ia duduk di sebelahku. Ia nampak serius sekali ingin tahu perkembangan hubunganku dengan Adit.

Aku terdiam. Pikiranku tergantung. Haruskah aku cerita pada kakakku apa yang menjadi kegelisahanku selama ini? Bagaimana aku selalu takut untuk melangkah dan sampai saat ini aku tak juga menikah hanya karena aku tak ingin mengulang sejarah keluarga: cerai. Akh, apa yang harus aku lakukan? 

“Tan...”
Aku tersedot, pikiranku turun ke bumi.
“Ya...” beku lidahku rasanya.
“Kamu baik-baik saja kan? Ya, sudah. Mungkin kamu tak ingin berbagi cerita dengan kakak.” Kulihat ia akan beranjak dari tempat duduknya.
“Aku takut, Kak,” tanganku meraih lengannya.
“Kenapa?” sorot matanya menghujam diriku. Aku tertunduk. Sepertinya, aku memang harus cerita. Sekian lama ini mengganggu hidupku. Mungkin dengan itu, ada sedikit kelegaan dalam diriku, mengurangi beban di hatiku.
“Adit ingin melamarku...”
“Haaa, bagus dong. Ini baru kabar baik namanya. Akhirnya. Selamat ya!” wajahnya cerah dengan senyum sumringah.
“Tapi...”
Ada apa dengan 'tapi', kamu ragu dengan Adit?”
“Mungkin, terlebih aku juga ragu pada diriku sendiri. Maaf Kak, aku tak mengerti namun aku jadi percaya. Ini merupakan takdir keluarga kita...”
“Maksudnya apa, Tan. Kakak ga ngerti?” Ia kembali duduk di sampingku.
“Cerai. Bukankah Papa-Mama cerai. Dan kini kakak juga. Aku takut Kak, bila ternyata pernikahanku juga akan berakhir sama.” Aku menjelaskan dengan perasaan yang galau. Ia merengkuh tubuhku. Membelai rambutku.

“Kamu jangan pesimis gitu. Bukankah setiap orang punya takdirnya masing-masing.” Ia mencoba meyakinkanku yang rapuh. Akh, harusnya aku kini yang menghiburnya. Bukankah ia tengah berduka atas kondisi keluarganya yang diambang kehancuran.
“Tapi tidak untuk keluarga kita, Kak.” seruku kian gamang. Tatapanku kosong. Ia kian erat merengkuh tubuhku. Ada ketenangan dalam setiap peluknya. Ah, kenapa semua harus seperti ini?
“Sudah malam, kamu pikirkan matang-matang kembali semuanya. Setidaknya, dalam hidup, sekali saja, kamu putuskan yang terbaik untuk hidup kamu, Tan.” Ia beranjak meninggalkanku.

Malam pun bergegas. Aku mulai mengemas hati yang galau. Aku memang harus memikirkan matang-matang semuanya, dengan sangat matang. Maafkan aku, Adit..., bisikku pada angin yang berhembus, saat menutup jendela kamar. 

Akh, aku benar-benar sangat mengutuk perceraian orang tuaku.


eNzi Navitu, 02 Oktober 2008, untuk sahabatku yang di ujung resah.

G+

2 komentar

yulia yuli delete February 13, 2014 at 3:49 PM

nice story mas bro! ;(( (h)

Unknown delete February 13, 2014 at 6:57 PM

Waduuuuh... [-( :) sebuah kisah yang terlewatkan, catatan kecil dari seorang sahabat... Thanks tuk' atensinya Mbak Yuli Yulia :)

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link