Senyum di Ujung Rindu

By Unknown on Thursday, August 21, 2014 with 0 comments

Senyum di Ujung Rindu
“Dua kali wanita itu memarahiku, mencaci dan menghardikku. Kenapa dia menghakimiku? Apa salahku? Siapa dia sebenarnya, hingga bisa seenaknya saja merendahkanku?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk mencari jawaban. Jawaban yang belum pernah kutemukan. Aku mencoba untuk tenang melawan tikaman pertanyaan batin yang terus mengusikku. Di kamar kos yang sempit ini, kutatap lekat ranjang dan kelambu kusam itu. Buku-buku, meja, dan lemari jelek—yang setiap waktu setia menemaniku. Dalam hati kubertanya, apakah tak ada yang lain, tempat dan teman yang lebih baik dari mereka? Ah, pertanyaan konyol itu kembali muncul dalam ruang sunyi ini.

Kring…kring…!!! Dering telepon butut itu kembali mengangetkanku. Seperti biasa, hanya telepon ibu yang mampu melerai gemuruh rasa di hatiku. Suara ibu laiknya madu dalam ramuan jamu. Meski pahit, setidaknya masih ada sedikit raga legit. Yah, hidupku memang pahit, sejak aku lahir tak pernah melihat sosok ayah. Tetapi, mungkin itu yang terbaik untukku, daripada harus melihat sosok ayah yang tega memukul ibu dan suka bermain dengan wanita lain—seperti yang selama ini dipergunjingkan oleh para tetangga.

Ayah tega meninggalkan ibu, dan membiarkannya membanting tulang untuk membesarkanku. Bahkan sekalipun ayah tak pernah menjengukku, anak kandungnya. Ayah membiarkanku hidup dalam penderitaan dan gunjingan orang sejak aku masih dalam kandungan. Sungguh mengenaskan.

Telah aku kubur dalam-dalam kenangan tentang ayah, bahkan berkhayal seperti apa wajah ayah, aku pun tak mau. Ibu juga tidak pernah menyinggung perihal ayah. Hanya sekali ibu pernah bilang, bahwa suaminya adalah cinta sejatinya. Meski sekarang suaminya telah pergi, namun ibu tetap mencintainya. Sungguh, aku tak mengerti apa maksudnya? Bukankah suaminya yang telah menelantarkannya ketika ia sedang hamil? Ah…ibu, walau engkau adalah ibuku, tetapi aku tak mengerti jalan pikiranmu.

“Rena, kamu sudah tidur, Nak?” tanya ibu kepadaku.
“Belum, Bu. Rena nggak bisa tidur sebelum mendengar suara Ibu,” jawabku manja.
“Gimana kabarmu hari ini, Sayang?”
“Baik, Bu. Seperti biasa, Rena baik-baik saja.”

Ah, andai kau tahu Bu, sejak kemaren ada teman sekampus yang mencaci makiku. Tapi aku nggak ingin membuatmu sedih, biarlah kurasakan sendiri sakit ini. Engkau sudah banyak merasakan pahitnya hidup, aku tak ingin menambahkan beban lagi kepadamu. Aku sudah dewasa, aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.

Mendung masih menggantung, saat aku keluar dari rumah kos pagi ini. untuk kesekian kalinya aku tak sengaja bertemu dengannya, dan kami jalan bersama menuju kampus. Tiba-tiba mendung di langit bergemuruh dan jatuh menjadi rintik-rintik hujan. Dengan cepat dia meraih payung lipat dari dalam tas punggungnya dan membiarkanku berteduh di bawahnya. Namun, hujan kian deras, akhirnya kami berteduh di warung kopi tepi jalan.
Deg…deg…jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku berdiri sangat dekat dengannya, hingga aku bisa merasakan getar hangat tubuhnya.

Ini adalah pertama kalinya aku berdiri begitu dekatnya dengannya. Sebelumnya kami hanya jalan beriringan dan bertegur sapa seperlunya. Walau sudah lama aku memperhatikannya, tapi aku tak berani untuk bertanya banyak hal dengannya. Dia terlalu tampan dan keren untuk bergaul denganku. Di kampus banyak cewek mengidolakannya. Mungkin karena dia juga, kemaren ada cewek yang marah-marah tanpa alasan padaku. Cewek itu mengira aku menyukai dia—mahasiswa komunikasi semester 8 itu. Yah, mungkin juga cewek itu ada benarnya. Aku memang menyukainya, entah sejak kapan, aku sendiri tidak tahu. Rasa ini datang begitu saja. Walau aku dan dia hanya bertemu beberapa kali, tapi aku merasakan ada sesuatu. Mungkin aku jatuh cinta kepadanya.

Dia memang keren, tajir, tapi bukan itu yang membuatku suka kepadanya. Dia sangat baik, sopan, dan berteman kepada siapa saja tanpa memandang bulu. Dan lebih dari itu, kata Mbak Sinta—teman kosku yang sekelas dengannya, dia itu sangat pandai alias jenius. Sungguh sempurnalah sudah lelaki itu. Laiknya bintang bercahaya yang indah memesona.

Aku sih tahu diri, mana mungkin aku bisa bermimpi menjadi pendampingnya. Sekedar berkenalan saja aku tak punya nyali. Paling juga cintaku bertepuk sebelah tangan, seperti cewek-cewek lain yang mengidolakannya. Walaupun begitu, aku tidak suka jika ada orang yang memakiku seperti Ludya kemaren. Dia juga menyebut-nyebut nama ibu dan ayah. Menjelek-jelekan keluargaku, dan menghina harga diriku.

“Re! Kamu ngaca ya, kamu itu siapa? Kamu itu nggak pantas sama Reno. Jadi, jangan deket-deket deh sama dia! Pura-pura berangkat bareng segala. Kamu itu jelek, cewek nggak jelas siapa bapaknya. Awas ya kalau masih deket-deketin Reno lagi!” Ancam Ludya penuh amarah.

“Rena!” Suara Reno memanggil dan membuyarkan lamunanku.
“Oh tidak…dia menyebut namaku. Dari mana dia tahu namaku?” bisikku.
“Kamu melamun ya? Yuk jalan, udah nggak hujan tuh.”

Waktu seakan begitu cepat berlalu, aku merasa gelisah, takut akan kehilangan sosoknya. Waktu yang aku takutkan adalah saat tiba waktunya dia lulus menjadi sarjana, dan aku tidak akan pernah melihat dia lagi di kampus ini. Tapi ternyata hari yang aku takutkan itu malah menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Nggak pernah aku menduga jika dia akan “menembakku” hari itu. Aku seakan nggak percaya, bahwa dia “menembakku”. Selama dua tahun aku kuliah di kampus ini, kenalan dengannya saja aku nggak berani. Kami nggak pernah main bareng, nggak pernah kumpul. Kalau pun saling sapa, itu pun hanya sekedarnya.

Hari itu aku sedang asyik bercanda ria dengan teman-temanku di depan gedung teather di kampus kami. Dia mengungkapkan cinta kepadaku—Reno sang idola kampus mencintaiku. Dia bilang telah memendam rasa itu sejak pertama berjumpa denganku. Ternyata kami berdua sama-sama ada rasa, tapi kami sama-sama takut untuk mengungkapkannya.

Bagiku ini adalah sebuah keajaiban. Dan, sejak peristiwa itu terjadi, kampus kami gempar dengan gosip jadian kami. Ada yang pro dan kontra, seperti Ludya, dia sangat iri dan tidak percaya bahwa aku sekarang pacarnya Reno. Apalagi besok ibuku akan pulang dan Reno akan meminangku.

Hampir enam tahun ibuku bekerja di Hong Kong. Kali ini dia sengaja mengambil cuti untuk menerima pinangan Reno. Ibu sangat merestui hubungan kami. Walau ibu hanya mengenal Reno lewat telepon, tapi ibu sangat menyukainya. Reno memang lelaki yang sempurna. Aku sungguh bahagia bisa mencintai dan dicintainya.

Malam yang kusangka akan menjadi malam terindah karena cinta Reno dan Restu Ibu, ternyata menjadi malam yang paling mencengangkan. Aku sendiri nggak tahu harus sedih atau bahagia. Aku sangat bingung. Kejadian malam itu bagai sepenggal memoar yang selama ini hilang dalam kehidupanku. Kepingan-kepingan rindu ini telah menyatu dan mempertemukan aku kepada “darah” yang selama ini belum pernah aku lihat seumur hidupku.

Mungkin ini yang namanya takdir, walau telah aku kubur dalam-dalam rinduku kepada “darah”—ayah yang telah menelantarkanku, tapi Tuhan menakdirkan dia muncul kembali di kehidupanku. Pak Rohim bapaknya Reno, adalah ayahku. Dia suami ibu yang telah meninggalkanku sejak aku masih dalam kandungan.

Malam itu suasana begitu pilu. Tak hanya aku, tapi Reno, Ibu, Pak Rohim juga Bu Wina sangat shock dengan keadaan ini. Air mataku bercucuran tiada henti, membasah semua luka yang dulu pernah mengering. Dalam pelukan ibu aku tersedu, menumpahkan segala rasa yang ada di hatiku. Aku tak perduli dengan orang-orang yang memandangiku. Aku hanya ingin menangis. Menangis sepuasnya. Di ujung ruang tamu kulihat Reno berubah pucat, diam tertunduk layu. Ada setitik embun di ujung matanya. Ada gurat kecewa di rona wajahnya.
Ternyata aku dan Reno adalah saudara kandung. Sebelum ayah menikah dengan ibu, ayah sudah lebih dulu menikah dengan Bu Wina, ibunya Reno. Dua puluh tahun yang lalu, ketika ayah meninggalkan ibu dan pergi bersama wanita simpanannya yang lebih kaya dan cantik dari pada ibu, ayah sering sakit-sakitan. Ayah menjadi lelaki pesakitan yang tidak berguna dan akhirnya wanita simpanannya meninggalkannya.

Pada masa kelam itulah ayah bertemu Bu Wina, istri pertamannya. Bu Wina dengan ikhlas menerima dan memaafkan kesalahan ayah. Berkat pertolongan dan ketulusan hati Bu Wina, ayah sembuh dari penyakitnya juga penyakit buruknya. Ayah meminta maaf kepada Bu Wina dan berjanji akan merubah sikap buruknya. Kemudian ayah dan Bu Wina membangun kembali rumah tangganya yang pernah hancur. Membina keluarga dengan harmonis bersama buah hati tercintanya, Reno.

Tapi tiba-tiba aku datang di tengah-tengah kebahagiaan keluarga baru mereka. Aku dan ibu yang telah lama terlupakan oleh ayah muncul kembali dalam keadaan yang tidak terduga. Malam itu, sebuah misteri telah terungkap, sebuah hubungan yang telah lama terputus terhubung kembali. Walau pertamanya kami semua tak bisa menerima kenyataan ini, terutama aku, tapi akhirnya kurelakan juga.

Kurelakan Reno, karena memang cinta kita adalah cinta terlarang. Kami telah salah mengartikan rasa ini, rasa sayang seorang saudara yang kami salah artikan sebagai cinta. Mungkin itulah alasannya kenapa aku dan Reno merasakan sesuatu sejak pertama kita bertemu, dan sesuatu itu adalah tali persaudaraan.

Satu lagi yang kutemukan malam itu, yaitu penawar rindu. Walau tak pernah kuucap, tak pernah kubayang, tapi sejatinya aku rindu kepada Ayah.

“Rena, maafin ayah Nak!” Pinta lelaki itu bersimpuh di depanku. Aku masih terdiam penatapnya nanar. Ada api, juga salju, yang membakar dan membekukan hatiku. Tapi perlahan, kulihat anggukan Ibu, Reno, juga Bu Wati meyakinkanku.

“Ayaaah!” Kupeluk erat tubuhnya dan kucium takzim tangannya. Lalu Reno mendekat dan mendekapku.

“Rena….”
“Kak Reno….” Kami berpelukan, dan ayah mendekap kami dari belakang. Rasa haru dan bahagia mengalir dalam darahku, ada senyum di ujung rindu di hatiku.

( NH. Lulu, dimuat di Tabloid APAKABAR Plus Edisi#17ThnVIII*9-22 November 2013 ) 

G+

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link