Pak Tarjo

By Unknown on Wednesday, February 5, 2014 with 2 comments

Pak Tarjo
“Kau kenal lelaki itu?” sambil tanganku menunjuk ke arah  lelaki paruh baya, dengan kaki pincang yang sedang memangggul cangkul di pundaknya.  Capingnya terlihat koyak di pinggiran.

“Itu, Pak Tarjo,” ucapnya, “semua warga Negeri Donesia kenal dengannya.”
“O, Pak Tarjo toh namanya,” seruku sambil memandangnya  yang berjalan ke arah kami. Ia nampak kesulitan berjalan dengan kondisi kakinya itu.  Aku terus memperhatikannya sampai menghilang di ujung jalan.

“Kenapa? Ko melihatnya seperti itu?”
“Kasihan...” gumamku.
“Tak perlu kasihan sama, Pak Tarjo. Ia orang hebat.“ Ada kebanggaan dalam ucapannya tentang sosok Pak Tarjo.
“Dengan kondisi fisik seperti itu, kamu bilang hebat?” Aku penasaran dengan pernyataannya.
“Jangan melecehkan, Pak Tarjo!” Sepertinya ia agak tersinggung dengan ucapanku.
“Dulu, Pak Tarjo tak seperti itu. Warga di sini, sangat mengagumi Pak Tarjo: semangat dan perjuangannya.”
“O, ya? Memang apa yang telah dilakukannya?” tanyaku ingin tahu.

Ia menghela nafas. Kopi yang mulai dingin diseruputnya. Ia memulai ceritanya tentang Pak Tarjo. Tentang kepeduliannya terhadap petani. Dengan modal pengetahuan yang dimilikinya, ia memberikan pengarahan-pengarahan tentang cara bercocok tanam yang baik. Bagaimana cara agar tanah pertanian lebih subur, lebih menghasilkan dan kualitas air sungai-irigasi lebih baik. Tidak tercemar bahan kimia sintetis dari pupuk sintetis dan pestisida pabrikan. Ia bergiat memberikan penyuluhan tentang soal pertanian, meski tak seperser pun imbalan ia terima selain ucapan terima kasih. Ia ikhlas membagi ilmunya.

“Sampai datang orang-orang asing itu ke Negeri Donesia ini!” Ia menarik nafas perlahan, lalu mengusap mulutnya yang masih menyisakan ampas kopi. Aku menantikan ceritanya yang terputus dengan sabar. Kunyalakan rokok kesukaanku. Menghisapnya perlahan dan menghembuskan asapnya ke udara.

“Mereka datang dengan congkaknya. Ingin mengubah wajah Negeri Donesia menjadi Negeri Industri. Mereka ingin mendirikan pabrik-pabrik, mencetak pundi-pundi uang mereka di sini,” lanjutnya.

“Kau tahu, orang yang pertama menentangnya?” Aku menggeleng.
“Pak Tarjo!” jelasnya, “beberapa warga sempat tergiur dengan iming-iming ganti rugi dan bersedia menjual tanah pertaniannya kepada orang asing itu.” Ia menuturkan ceritanya dengan penuh ekspresi.

“Lagi-lagi, Pak Tarjo memberikan pemahaman. Kata-katanya  begitu sakti dan menghipnotis warga.

Ini tanah kita, sumber penghidupan. Kalau kita jual, kita makan apa? Lantang suara Pak Tarjo saat itu, di hadapan warga. Ia menyatakan menolak kehadiran orang-orang asing itu. Kita punya wajah pertanian, bukan wajah industri pabrikan yang hanya akan membuat kita menjadi kacung-kacung mereka. Darah kita adalah pertanian, sampai mati kita akan tetap seperti itu. Bau lumpur tanah adalah parfum khas milik kita yang tak boleh diganti dengan apapun.

Orang-orang asing itu pun mulai jengkel dengan ulah Pak Tarjo. Segala cara dilakukan untuk melenyapkan Pak Tarjo. Nihil. Ia selalu lolos dari maut yang mengintainya. Akhirnya, orang-orang asing itu pun pergi setelah menemui jalan buntu.“  Ia menutup ceritanya dengan satu senyuman.

Ada kekaguman yang perlahan menyusup di hatiku, setelah mendengar ceritanya tentang sosok Pak Tarjo.  Lelaki hebat di balik kondisi tubuhnya yang cacat, pincang. Persepsiku tentang Pak Tarjo berubah, hanya saja, aku merasakan masih ada yang mengganjal. Cerita tentangnya serasa belum lengkap.

“Lantas, apa yang menyebabkan kaki Pak Tarjo pincang?” tanyaku mengejutkannya.

“O, itu. Ia terjatuh saat memanjat pohon kelapa,” ucapnya polos.

G+

2 komentar

Udhy delete March 16, 2014 at 3:17 PM

bangga denagn sikap pak tarjo (h) tapi masih adakah orang yang seperti dia saat sekarang ini :-?

Unknown delete March 16, 2014 at 7:04 PM

Pak tarjo... :))

Keren keren..

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link