“Kau kenal lelaki itu?” sambil
tanganku menunjuk ke arah lelaki paruh
baya, dengan kaki pincang yang sedang memangggul cangkul di pundaknya. Capingnya terlihat koyak di pinggiran.
“Itu, Pak Tarjo,” ucapnya, “semua
warga Negeri Donesia kenal dengannya.”
“O, Pak Tarjo toh namanya,”
seruku sambil memandangnya yang berjalan
ke arah kami. Ia nampak kesulitan berjalan dengan kondisi kakinya itu. Aku terus memperhatikannya sampai menghilang
di ujung jalan.
“Kenapa? Ko melihatnya seperti
itu?”
“Kasihan...” gumamku.
“Tak perlu kasihan sama, Pak
Tarjo. Ia orang hebat.“ Ada kebanggaan dalam ucapannya tentang sosok Pak Tarjo.
“Dengan kondisi fisik seperti
itu, kamu bilang hebat?” Aku penasaran dengan pernyataannya.
“Jangan melecehkan, Pak Tarjo!” Sepertinya ia agak tersinggung dengan ucapanku.
“Dulu, Pak Tarjo tak seperti itu.
Warga di sini, sangat mengagumi Pak Tarjo: semangat dan perjuangannya.”
“O, ya? Memang apa yang telah
dilakukannya?” tanyaku ingin tahu.
Ia menghela nafas. Kopi yang
mulai dingin diseruputnya. Ia memulai ceritanya tentang Pak Tarjo. Tentang
kepeduliannya terhadap petani. Dengan modal pengetahuan yang dimilikinya, ia memberikan
pengarahan-pengarahan tentang cara bercocok tanam yang baik. Bagaimana cara
agar tanah pertanian lebih subur, lebih menghasilkan dan kualitas air
sungai-irigasi lebih baik. Tidak tercemar bahan kimia sintetis dari pupuk
sintetis dan pestisida pabrikan. Ia bergiat memberikan penyuluhan tentang soal
pertanian, meski tak seperser pun imbalan ia terima selain ucapan terima kasih.
Ia ikhlas membagi ilmunya.
“Sampai datang orang-orang asing
itu ke Negeri Donesia ini!” Ia menarik nafas perlahan, lalu mengusap mulutnya
yang masih menyisakan ampas kopi. Aku menantikan ceritanya yang terputus dengan
sabar. Kunyalakan rokok kesukaanku. Menghisapnya perlahan dan menghembuskan
asapnya ke udara.
“Mereka datang dengan congkaknya.
Ingin mengubah wajah Negeri Donesia menjadi Negeri Industri. Mereka ingin
mendirikan pabrik-pabrik, mencetak pundi-pundi uang mereka di sini,” lanjutnya.
“Kau tahu, orang yang pertama
menentangnya?” Aku menggeleng.
“Pak Tarjo!” jelasnya, “beberapa
warga sempat tergiur dengan iming-iming ganti rugi dan bersedia menjual tanah
pertaniannya kepada orang asing itu.” Ia menuturkan ceritanya dengan penuh
ekspresi.
“Lagi-lagi, Pak Tarjo memberikan
pemahaman. Kata-katanya begitu sakti dan
menghipnotis warga.
Ini tanah kita, sumber
penghidupan. Kalau kita jual, kita makan apa? Lantang suara Pak Tarjo saat itu,
di hadapan warga. Ia menyatakan menolak kehadiran orang-orang asing itu. Kita
punya wajah pertanian, bukan wajah industri pabrikan yang hanya akan membuat
kita menjadi kacung-kacung mereka. Darah kita adalah pertanian, sampai mati
kita akan tetap seperti itu. Bau lumpur tanah adalah parfum khas milik kita
yang tak boleh diganti dengan apapun.
Orang-orang asing itu pun mulai
jengkel dengan ulah Pak Tarjo. Segala cara dilakukan untuk melenyapkan Pak
Tarjo. Nihil. Ia selalu lolos dari maut yang mengintainya. Akhirnya,
orang-orang asing itu pun pergi setelah menemui jalan buntu.“ Ia menutup ceritanya dengan satu senyuman.
Ada kekaguman yang perlahan
menyusup di hatiku, setelah mendengar ceritanya tentang sosok Pak
Tarjo. Lelaki hebat di balik kondisi tubuhnya yang cacat, pincang. Persepsiku tentang Pak Tarjo berubah, hanya saja, aku merasakan masih ada yang mengganjal. Cerita tentangnya serasa belum lengkap.
“Lantas, apa yang menyebabkan
kaki Pak Tarjo pincang?” tanyaku mengejutkannya.
“O, itu. Ia terjatuh saat
memanjat pohon kelapa,” ucapnya polos.
Related Posts
2 komentar
bangga denagn sikap pak tarjo (h) tapi masih adakah orang yang seperti dia saat sekarang ini :-?
Pak tarjo... :))
Keren keren..
Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!
1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link