Senandung Badrun

By Unknown on Tuesday, December 17, 2013 with 4 comments

Senandung Badrun
"Copet... tangkap..." Teriakan menggelegar, memecah siang yang panas menyengat. Badrun berlari kalut di antara kerumunan orang. Masuk lorong pasar, menikung ke kiri dan meloncat pagar pembatas di pasar itu. Badrun terus berlari menuju perkampungan kumuh melewati tumpukan-tumpukan sampah. Orang-orang yang tadi memburunya pun kehilangan jejak. Ya, Badrun sangat menguasai wilayah operasionalnya: kenali medan lalu mencopet. Slogan yang Badrun revisi dari Sun Tzu, yang pernah dibacanya dari buku loakan di pasar terminal.

"Copet ya copet..." gurau Bang Poltak, yang membagi sedikit keahliannya mencopet pada Badrun.
"Tapi copet juga manusia," kilah Badrun, “Abang tanya Aini, lonte di tempat biasa kita mangkal, apa mau dia jadi lonte? Gue pun sama dengannya Bang, tak mau gue jadi pencopet."
"Huahahahaa..." Bang Poltak tertawa sinis sambil mengembuskan asap rokok ke wajah Badrun.

"Lalu apa masalahnya? Lu mau insaf jadi pencopet? Kalau ga nyopet apalagi kerja lu?" ledek Bang Poltak sambil menyeruput kopi hangat di depan rumahnya yang kumuh dan nyaris seperti kandang Kambing.
"Tak juga lah Bang, hanya saja copet jangan diperlakukan seperti binatang. Lihat si Cecep yang tertangkap di pasar terminal, mampus dia dihabisi massa. Tak jauh beda Cecep dengan binatang."
"Huahahahaa... " Semakin sinis tawa Bang Poltak. Badrun menatap tajam ulah Bang Poltak. Tatapannya nyalang, menghentikan tawa Bang Poltak.
"Hei Badrun, kenapa lu menatap gue seperti itu?"
"Abang dari tadi hanya tertawa. Baru saja kematian hampir menjemput gue." Badrun bersandar, melepaskan beban di dadanya.
"Abang sepertinya senang bila gue mati dan bernasib sama dengan Cecep?"
"Badrun, gue lebih dulu jadi pencopet, jadi gue tahu persis apa yang akan menimpa kita. Kalau tidak mati ya mampir di bui. Buat gue hidup dan mati tak jauh berbeda. Untuk menyambung hidup saja gue harus mempertaruhkan nyawa. Lu jangan jadi lelaki cengeng di tengah peradaban yang rusak ini." Bang Poltak menghela nafas panjang.
"Lu tahu, istri gue mati karena gue ga bisa bawa dia ke rumah sakit. Padahal penyakit TBC-nya sudah parah." Badrun menatap lurus ke bola mata Bang Poltak. Ada genangan air di pelupuk matanya. Miris juga hati Badrun mendengarnya.
"Nah, lu sekarang harus lebih giat mencopet, untuk biaya Mak lu yang lagi sakit. Jangan sampai nasib Mak lu sama dengan istri gue." 


Seketika mata Bang Poltak menatap nanar, lurus ke arah tumpukan sampah yang sudah jadi hidangan setiap hari. Baunya begitu akrab dengan penghuni sekitar. Ya, di tempat ini, Administrasi Negara tak sudi singgah. Bahkan nama-nama penduduk di sini tak tercatat dalam lembar negara.


"Kita orang-orang yang tersisihkan dari kehidupan di negara ini...."

Kelapa Gading, 29 Juni 2010

G+

4 komentar

ON VS OFF delete March 3, 2014 at 9:30 AM

kemiskinan bukanlah takdir, kemiskinan bukanlah karma, kemiskinan bukanlah karena kita tidak mampu, kemiskinan juga bukan karena kita malas...so tanya kenapa

Unknown delete March 3, 2014 at 9:40 AM

tanya sama siapa ya, Gan heheheheee :)

Primamulia Teguh delete March 3, 2014 at 10:16 AM

ane baca dulu gan

Unknown delete March 3, 2014 at 10:29 AM

silahkan :)

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link