Sedih yang Tertunda

By Unknown on Wednesday, December 11, 2013 with 2 comments

Sedih yang Tertunda
Mengenangnya sama saja dengan mengurai sebuah kesedihan yang sangat. Meski, sejenak, aku pernah menghisap bahagia bersamanya.

Malam rekat, pekat. Memasung bisu yang ada antara aku dengannya. Cukup lama suasana ini larut. Aku merasakan sebuah jarak yang terentang. Pandanganku lurus ke bola matanya yang redup.


“Mas, hubungan ini harus kita akhiri. Aku tak mau terlalu lama memendam rasa bersalah.”

“Kenapa? Kamu takut jika hubungan kita ketahuan suamimu? Kenapa tidak sedari awal rasa bersalah itu muncul dan kita tak perlu memulai hubungan yang penuh resiko ini,” terangku.
“Maafkan aku. Hanya saja, aku tak ingin rumah tanggaku hancur. Aku masih ingin mempertahankannya, meski keadaannya sudah penuh dengan masalah.” Ia tertunduk melontarkan kata-kata yang semakin menghujani hatiku.
“Kamu egois, tidak menimbang perasaan yang tumbuh dalam hatiku.”

Akh, mengapa jadi begini? Seperti ada yang terhenti dalam duniaku, mendengar keputusannya. Semua impian runtuh dalam penggalan kata-katanya. Sungguh, benih cinta telah tumbuh. Mungkin aku konyol mencintai perempuan yang sudah bersuami. Tapi apa aku salah? Rasa itu datang tiba-tiba dan tak memberikan kesempatan padaku untuk berpikir dengan akal sehatku. Dan aku benar-benar tak rela bila harus kehilangan dirinya.


Kenangan melintas, luruh. Penggalan peristiwa merantai. Senja yang nyaris padam, di jantung kota, bersama dirinya singgah di sebuah kedai makan, usai pulang kerja.


“Aku lapar, kita makan dulu ya?” Aku menawarkan diri padanya.

“Terserah...!”
“Loh ko terserah. Kamu tidak lapar?”
“Lapar seh, tapi aku terbiasa untuk memberikan keputusan kepada kaum laki-laki.” Aku tertawa.
“Kenapa tertawa? Ada yang lucu dengan kata-kataku?” bola matanya menyelidik.
“Aneh saja aku mendengarnya. Kenapa mesti menyerahkan keputusan kepada kaum lelaki?”
“Suka saja. Aku suka lelaki yang memberikan keputusan kepada kaum perempuan. Itu menandakan ia seorang pemimpin. Aku malah sangat membenci kepada kaum laki-laki yang akrab dengan kata terserah.”
“Ko bisa? Lalu bagaimana dengan eksistensi kaum perempuan?” Aku memancing debat.
“Kita mau makan atau berdebat?”
“Kalau boleh dua-duanya,” ucapku mantap dengan senyum mekar.
“Terserah...!” kali ini aku tertawa lepas.

Aku pandangi wajahnya, di dalamnya aku menemukan sebuah kesederhanaan baik dalam sikap maupun penampilannya.Lalu aku memesan makanan dan larut dalam percakapan panjang hingga pulang. 


Oh ya, ia terbiasa pulang menggunakan jasa angkutan massal yang murah meriah dan penuh resah. Kereta Api. Ia tinggal dipinggiran kota, di selatan Jakarta.


Sejak itu hubunganku dengannya berlanjut. Kian karib. Kami saling terbuka bahkan untuk hal-hal yang paling pribadi. Rumah tangganya mulai goyah oleh prahara egoisme.


“Ia terlalu sibuk dan asik dengan dunianya. Kadang aku merasa terabaikan dan mengurus rumah tangga sendiri. Single parent, meski aku punya suami!”

“Kamu sudah bicara baik-baik dengannya?”
“Sudah. Ia tetap tak peduli. Ternyata dunianya begitu menyenangkan baginya dan aku bukan bagian dari dunianya itu.” 

Kutatap bola matanya, aku menemukan ketegaran di sana. Ufh..., perempuan yang kuat, batinku.


“Kamu kelihatan tegar ya dengan masalahmu!” seruku.

“Tidak juga!” Senyum menghiasi wajahnya. Ah, cantiknya perempuan ini. Betapa bodoh suaminya, mengabaikan perempuan sesempurna ini. 

“Kadang, aku juga butuh tempat untuk bermanja dan sedikit perhatian, dan itu tak kudapati dari suamiku,” keluhnya.

“Kamu yang sabar, ya!” hiburku.
“Terima kasih...”

Tanpa sadar kuraih tangannya. Kugenggam erat. Ia hanya terdiam, dan senyum terurai di wajahnya. Perlahan, kepalanya rebah di bahuku.


“Terima kasih untuk perhatiannya dan mau mendengarkan masalahku,” ucapnya lirih setengah berbisik.


Kebersamaan dengannya kian meluap. Banyak rekan-rekan kerjanya yang mulai menggunjing. Kedekatanku dengannya memancing perhatian. Aku tak peduli. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Ruang hatiku mulai terbuka untuknya. Semai benih cinta luruh di hatiku. Ya, cukup lama aku dalam kesendirian. Semua perempuan yang pernah bersamaku, lampau, selalu berakhir dengan kesedihan. Akh, semacam takdir kecil yang selalu mengintai hidupku. Ya, aku merasa bahagia bersamanya. Hari-hariku yang kini lengang mulai riuh oleh hadirnya yang penuh gelak tawa, canda dan seuntai kemesraan yang terjalin. Ada yang terangkai, janji terikat dan mahliga cinta menjulang, berhias bahagia yang luap. Meski di dalamnya ada resiko yang menyertai.


“Kamu yakin dengan perasaanmu?”

“Ya. Bagaimana denganmu?”
“Entahlah. Kadang aku mulai ragu. Kita pikirkan kembali secara baik-baik hubungan ini. Aku takut ada yang terluka dengan keputusanku ini,” matanya menerawang, jauh.
“Terlebih aku sudah bersuami dan punya anak!”
“Tapi kamu tidak bahagia dengannya!”
“Ya, harus kuakui. Ia sering mengabaikanku dan asik dengan dunianya sendiri. Tapi ia tetap ayah dari anak-anakku.”

Aku tertunduk. Kuraih jemarinya dan menggenggam erat.

“Kamu ragu dengan seluruh janjiku?”
“Tidak. Hanya saja...” tatapannya lurus menembus hatiku.
“Hanya saja apa?” Aku memburunya.
“Aku takut semua perasaanku padamu hanya sebuah pelarian belaka!”

Deg. Jantungku berdetak keras. Aku tak ingin ia melihat perubahan air mukaku karena perkataannya. Mengejutkan. Kutata kembali hatiku yang tak menentu.


“Lalu hubungan kita ini?”

“Kita jalani saja semua ini, kalau kamu memang jodohku, kita pasti dipersatukan.”

Aku goyah, labil dalam perkataannya. Tapi apapun yang terjadi, terjadilah. Aku ingin meresapi seluruh kebahagiaan bersamanya.Tiga bulan sudah kebersamaanku dengannya. Suatu senja, ia menghubungiku.


“Ya, ada apa?” Kuangkat ponselku yang berdering.

“Lagi di mana?” tanyanya di seberang, entah di mana.
“Lagi di jalan. Ada apa seh, ko kayanya serius banget?”
“Ada waktu? Aku ingin bicara, penting!” ucapnya memburu.
 Aku merasakan ketegangan dalam kata-katanya.
“Di mana?”
“Di tempat biasa!” serunya menutup pembicaraan.

Aku langsung memacu sepeda motorku ke tempat biasa kita menghabiskan waktu bersama.


“Mas...,” lamunanku pecah. Aku terjaga saat ia memanggilku lirih.

“Ya...,” kelu lidahku. Pandanganku sayu. Kutatap wajahnya yang tertunduk. Ingin aku merengkuhnya, erat. Aku merasa akan sangat kehilangan bila ia benar-benar pergi dari hidupku.

“Mas, aku pamit. Kita akhiri semua ini!”

“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?”
“Ya, maafkan aku.”

Aku terdiam. Akh, aku memang harus merelakan untuk kesekian kalinya. Aku tak bisa menahannya lagi.


“Mas, untuk terakhir kalinya, aku pamit ya. Jangan terlalu sedih. Aku minta maaf untuk semua yang pernah terjadi. Sungguh, maafkan semua kesalahan dan khilafku. Aku pamit ya, Mas...”


Aku tetap terdiam dalam bisu. Ia melangkah meninggalkanku yang masih saja terdiam dalam bisu. Mataku berkaca-kaca. Aku hanya dapat memandanginya yang beranjak dan menjauh dariku. Semua terasa gelap dan yang dapat kurasakan, ada sedih yang menyengat hati. Perlahan, bayangnya mulai hilang ditelan malam yang gulita. Akh, aku cuma sedih yang tertunda....


Tendean, 23 Juli 2007

G+

2 komentar

Lian mafutra delete March 12, 2014 at 1:03 PM

waduh ship ne gan blog ente ! :):):)

aderizkytriprasojo delete March 12, 2014 at 1:21 PM

waahh.. kok sedihnya di tunda tooo... tersiksa hatinya ...
kasian dong...

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link