Maling

By Unknown on Sunday, December 15, 2013 with 3 comments

Maling
Tampak olehku seorang lelaki paruh baya, kurus-kering jadi bulan-bulanan massa. Ia dihajar habis-habisan: kepalan tangan, balok kayu, serta batu bersarang di tubuhnya. Darah segar menghiasi wajahnya. Merah sudah.

Aku yang awalnya ingin ikut partisipasi, menjadi iba melihatnya. Aku begitu geram dengan maling, karena aku juga pernah jadi korbannya. Sepeda motor kesayanganku melayang di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi melihat lelaki itu?

Akh…, melihat tubuh yang sudah kepayahan, kesadaranku terusik. Tubuh lelaki itu lunglai. Sementara pengadilan rakyat ini terus berlansung. Teriakan dan makian menyertai tubuh yang limbung, terkapar mencium aspal.


“Bakar...!”
“Mampusin aja...!"
“Cincang...!"

Seorang pemuda dengan jerigen bensin, mengguyur tubuh yang sudah tanpa daya itu.
“Bakar!” Kembali teriakan-teriakan itu menggema. Aku tersentak atas tindakan yang tidak manusiawi itu. Aku menyeruak di antara kerumunan massa. Keberanianku terkoyak, kemanusiaanku teraniyaya.


“Stop, hentikan!" seruku lantang dengan suara yang gemetar.
“Saudara-saudara sekalian...,” ucapku terbata-bata.
“Jangan main hakim sendiri...,” Kutatap kerumunan massa yang sorot matanya begitu liar dan beringas.
“Ini negara hukum, mari kita serahkan maling ini kepada yang berwajib,” ujarku menenangkan massa. Dikejauhan kudengar sirine polisi. Sedikit lega hatiku. Aku tidak begitu yakin bisa menenangkan massa yang beringas ini. Kupandangi lelaki di sampingku. Nafasnya satu-dua. Erangan dan rintihan yang keluar dari mulutnya begitu menyayat hati.

Aparat yang berwajib tiba di lokasi. Seorang polisi muda menghampiriku.
“Selamat siang, Pak.”
“Selamat siang.”
“Apakah Bapak korban?”
“Bukan, Pak.”
“Lalu siapa korban dari maling ini?”

Seorang lelaki paruh baya menghampiri kami.
“Saya Pak, korban dari maling itu!” serunya.
“Oh, Bapak,” sahutku. Aku mengenalnya. Ia pedagang di pasar tradisional, tak jauh dari tempat tinggalku.
“Bapak bisa ikut kami untuk dimintai keterangan,”sahut Polisi muda itu.
“Baik, Pak.”

Mereka beranjak pergi. Kerumunan massa itu pun bubar. Aku yang sedari tadi ingin tahu pencurian apa yang dilakukan lelaki itu, menghampiri korban.

“Pak...”
“Ya...”
“Sebenarnya apa yang telah dicuri lelaki itu dari warung Bapak?” tanyaku.
“Sekilo beras,” jawabnya enteng sambil naik ke mobil Polisi itu.

Aku termangu di antara sirine mobil yang melaju meninggalkan lokasi. Lututku goyah. Demi sekilo beras, maling itu rela mempertaruhkan nyawanya? Aku nyinyir sendirian melihat kenyataan itu, di negeriku yang bernama Indonesia.


eNzi Navitu, 31 Mei 2009, Negeri 1001 Janji.

G+

3 komentar

Unknown delete March 5, 2014 at 9:56 AM

wahhh bagus banget mas!
salut deh (o)

Ikubaru Blogzia delete March 5, 2014 at 10:49 AM

bagus banget seperti karya yg ada di buku pelajaran atau novel..
bagus nih sumpahh :)

Udhy delete March 5, 2014 at 5:30 PM

mengambil sekilo beras tapi digebukin dan dianiaya sampai segitunya??? trus kenapa yang mengambil ber-ton2 beras rakyat (korupsi milyaran) tidak diperlakukan seperti itu??? kalau pencuri sekilo beras saja sampai dianiaya seperti itu, trus maling uang rakyat bermilyaran layaknya diapakan?? digantung?? tp smpai sekrg tdk ada tindakan. yang ada adlh prlakuan istimewa. sungguh pilu negeri ini ;(

Silahkan tinggalkan komentar Anda di sini...!!!

1. Berkomentarlah yang relevan dan menggunakan bahasa yang sopan
2. Dilarang komentar yang mengandung unsur SARA
3. No Spam No Live Link